Senin, 01 Desember 2008

TIGA FAKTOR PENYELAMAT

Kejayaan dan kemuliaan yang dicapai seseorang, baik secara pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa tidak menutup kemungkinan mengalami kehancuran. Kehancuran itu akan terjadi manakala manusia tidak menuruti petunjuk Allah Swt dan Rasul-Nya. Dalam salah satu hadist, Rasulullah Saw memberikan petunjuk kepada kita agar dapat menyelamatkan diri dari kehancuran. Dalam hadistnya, Rasulullah Saw bersabda:
“Ada tiga perkara yang dapat menyelamatkan manusia, yaitu: takut kepada Allah, baik pada waktu sembunyi maupun terang-terangan, berlaku adil, baik pada waktu rela maupun marah dan hidup sederhana, baik pada waktu fakir maupun kaya”.(HR Thabrani dari Anas ra).

Dari hadist tersebut, ada tiga petunjuk Rasulullah Saw kepada kita agar dapat menghindarkan diri dari kehancuran sehingga selamat dalam hidup di dunia maupun di akhirat. Karena itu, tiga petunjuk Rasul ini perlu kita pahami bersama-sama.

Pertama, kalau kita mau memperoleh keselamatan yang berarti terhindar dari kehancuran adalah memiliki rasa takut kepada Allah Swt. Hal ini karena, takut kepada Allah Swt merupakan sesuatu yang amat penting dalam hidup ini. Dengan sifat ini manusia tidak berani melanggar ketentuan Allah Swt sehingga dia akan selalu menuruti perintah-perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Namun harus kita pahami bahwa yang dimaksud takut kepada Allah bukanlah takut kepada Allah itu sendiri lalu kita menjauh dari-Nya, tapi takut kepada Allah adalah takut kepada siksa, azab dan murka–Nya yang membuat kita harus meninggalkan segala hal yang akan mendatangkan siksa, azab dan kemurkaan–Nya itu.

Rasa takut kepada Allah seperti ini harus kita tunjukan dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga serta di manapun kita berada, karena Allah Maha Mengetahui apapun kita lakukan dan dimanapun kita melakukannya, sedang Allah swt sendiri harus kita dekati, sehingga kapan, dimanapun dan bagaimanapun situasi dan kondisinya kita harus selalu merasa dekat dangan Allah Swt, karenanya ada perintah di dalam Islam untuk taqarrub ilallah atau mendekatkan diri kepada Allah Swt. Manakala seseorang telah memiliki rasa takut kepada Allah, maka dia menjadi orang yang mudah menerima peringatan sehingga dapat merubah pola hidupnya dari yang tidak benar menjadi benar, Allah berfirman yang artinya:
”Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan shalat. Dan barang siapa mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allahlah kembali(mu)”.(QS 35:18)

Kedua, yang membawa manusia pada keselamatan adalah berlaku adil. Hal ini karena, kehidupan suatu masyarakat juga akan selamat dari malapetaka manakala keadilan ditegakkan. Karena itu banyak sekali ayat ataupun hadist yang memerintahkan kita berlaku adil, baik adil kepada orang yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai. Jangan sampai seseorang berlaku adil kepada sesorang yang disenanginya dengan memberi kemudahan yang berlebihan, sedang kesalahannya ditutup-tutupi dan tidak dihukum sebagaimana mestinya meskipun tingakat kesalahan sangat besar, sementara orang yang tidak disukainya, jangakan diberi kemudahan, kesalahan kecilpun diberi hukuman dengan sangat berat hingga melebihi batas kesalahannya, salah satu ayat yang memerintahkan kita berlaku adil adalah firman Allah yang artinya:
”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.(QS 16:90)

Meskipun demikian, seorang muslim jangan sampai salah paham terhadap keadilan lalu dia menjadi bingung harus bersikap bagaimana. Adil adalah berpihak kepada kebenaran dan memegangnya erat-erat sehingga tidak berat sebelah, tidak memihak kepada salah satu kelompok atau orang tertentu. Karena itu, Rasulullah Saw telah menujukkan sikapnya yang akan memotong tangan Fatimah, anaknya bila mencuri, sikap ini merupakan keadilan sehingga jangankan orang lain, anak sendiri saja kalau bersalah tetap akan dihukum, bukan seseorang yang bersalah tapi orang lain yang dituntut menanggung bebannya. Dalam krisis ekonomi sekarang masyarakat mendambakan keadilan ekonomi, sehingga yang menjadi penyebab krisis ini harusnya dituntut tanggung jawabnya.

Sahabat Umar bin Khattab ra, ketika menjadi Khalifah telah menunjukkan keadilannya, Ali ra mengajukan gugatan atas orang Yahudi yang telah mencuri baju perangnya dan tentu saja orang Yahudi itu menyangkal. Tapi karena Ali ra juga tidak bisa menunjukkan saksi yang dapat menguatkan dan membuktikan tuduhannya, Umar ra tidak mau mengambil keputusan sewenang–wenang, akhirnya Umar ra memenangkan perkara orang Yahudi itu. Ternyata, kemudian orang Yahudi itu tergugah dengan keadilan yang mengagumkan dari sang Khalifah, akhinya diapun mengakui kesalahannya dan menyatakan masuk Islam. Kehidupan pribadi dan masyarakat memang akan berjalan dengan baik, manakala keadilan ditegakkan.

Ketiga, yang merupakan faktor penyelamat dalam kehidupan kita adalah memiliki kesederhanaan. Hal ini karena, sederhana meruoakan pola hidup yang dapat membawa kebahagiaan bagi manusia. Mungkin timbul pertanyaan dibenak kita, mengapa dalam hadist, Rasulullah Saw memerintahkan hidup sederhana, baik di waktu fakir maupun di kala kaya, di waktu kaya mungkin pantas kalau seseorang diperintah untuk sederhana dalam hidupnya, tapi mengapa di perintah juga hidup sederhana itu di waktu fakir?

Hidup sederhana memang harus dijalani dalam dua keadaan. Di kala kaya orang harus tetap sederhana sehingga dia tidak menghambur-hamburkan kekayaan untuk sesuatu yang sia-sia dan bermewah-mewahan, sedang di waktu miskin, seseorang juga harus hidup sederhana agar apa yang dimiliki oleh orang kaya yang memang dibutuhkan oleh si kaya tidak menjadi ambisi yang berlebihan oleh si miskin, si miskin tidak usah berpenampilan seperti orang kaya kalau dia tidak mampu. Sebagai contoh: kalau ukuran kekayaan adalah memiliki kendaraan pribadi, pada dasarnya boleh-boleh saja, hanya masalahnya kalau miskin seseorang tidak mampu membelinya, tapi karena ingin tampil seperti orang kaya, akhirnya dia harus menjarah milik orang lain atau dengan cara berhutang ke sana ke mari dalam jumlah yang besar, padahal tidak sanggup membayarnya, apalagi hutang akan membuat manusia tidak memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya, mendapat gaji tidak membuat dia senang karena harus membayar hutang, begitu juga jika mendapatkan keuntungan. Krisis moneter yang yang berkepanjangan di negeri kita adalah karena hutang yang besar, Hutang negara berjumlah besar dan hutang swasta lebih besar lagi. Itu sebabnya, salah satu do’a yang selalu dipanjatkan Nabi Muhammad Saw adalah:
”Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa sesak dada dan gelisah dan aku berlindung kepada-Mu dari sikap pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan dominasi manusia”

Karena itu, salah satu larangan yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku tabzir yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan istilah pemborosan meskipun kurang tepat karena pemborosan bermakna berlebihan, sedangkan tabzir adalah membelajakan harta kekayaan untuk maksiat, keangkuhan dan ingin dikenal atau dipuji. Dalam Ensiklopedi Al Qur’an dikutip pendapat Al Qasimini yang mendifinisikan at-tabzir dengan membelajakan harta untuk perbuatan yang haram atau makruh atau menyerahkan harta benda kepada yang tidak berhak menerimanya. Sedangkan pendapat Ibnu Mas’ud ra dan Ibnu Abbas ra yang dimaksud dengan tabziq adalah memebelajakan harta untuk sesuatu selain yang benar. Karena itu, meskipun sedikit atau kecil jumlahnya, mengeluarkan harta untuk sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam termasuk tabzir dan pelakunya adalah mubazzir yang berarti saudaranya syaitan, Allah Swt berfirman yang artinya:
”Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudaranya syaitan dan syaitan itu sangat ingkar kepada Tuhan-Nya”.(QS 17:26-27)

Dengan demikian, pola hidup sederhana bukanlah didengungkan pada saat krisis ekonomi saja dan bukan hanya untuk yang miskin tapi juga yang kaya, bukan hanya yang kaya tapi juga yang miskin. Akhirnya, semakin kita sadari kalau kehidupan ini ingin selamat, bahagia dunia dan akhirat hanya bisa diraih manakala kita jalani hidup ini dengan sederhana sesuai dengan ajaran agama Islam dan merupakan tuntunan Allah Swt dan Rasul-Nya. Dengan kembali kepada Islam, kita kembali meraih kejayaan, kemuliaan dan keagungan pribadi sebagai muslim.

Untuk itu marilah kita bermunajat kepada Allah Swt agar kiranya kita diberikan kekuatan dan sekaligus kesempatan untuk meraih serta mengamalkan tuntutan Allah Swt dan Rasul-Nya dalam sisa-sisa usia kita, amin ya Rabbal’alamin!


Selengkapnya...

Kenapa saya tidak boleh mencuri??

Mencuri yang akan saya bahas adalah, mencuri harta yang bukan milik kita :!: dan sebatas harta jadi untuk mencuri kesempatan, pandangan, pemikiran, waktu itu tidak diulas disini.

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( QS Al Maa-idah 5:38 )

Selain diancam dengan hukuman dunia, mencuri juga menimbulkan efek psikologi yang sangat hebat bagi si pencurinya.

Pertama, hidupnya tidak akan tenang. Ketakutan akan selalu menguntit di setiap langkah. Saat mendengar berita ada pencuri yang tertangkap tangan, di amuk massa, dibakar, di arak warga, bahkan hingga tewas, ketakutannya akan muncul. Ketakutan karena hukuman pemerintah. Baik potong tangan atau cambuk seperti yang diterapkan di NAD atau hukuman penjara satu-dua hari hingga tahunan akan menjadikannya paranoid terhadap aparat hukum dan peraturan. Belum lagi kemarahan/ kekesalan do’a ang kurang baik akan mengalir dari pihak yang anda curi, keluarga dan kerabatnya. Doa orang yang teraniaya itu didengar langsung oleh ﷲ.

Kedua, Hartanya akan tercemar. Harta hasil mencuri tidak akan berkah. Dimakan tidak mengenyangkan, di jual tidak akan menuguntungkan, dipakai tidak akan nyaman, disimpan tidak akan tenang. Apalgi jika dimakan, lalu makanan itu dibagikan ke keluarga, bukan kenyang dan nikmat yang akan akan dirasakan. Tetapi penyakit, perilaku buruk dari keluarga, isu, fitnah yang tidak pernah ditemui justru akan ramai berdatangan. Seolah-olah makanan itu menjadikan “magnet kesialan” bagi yag memakannya. Jangan harap mendapat pahala ketika shalat dengan sarung curian. Naudzubillah.

Ketiga, Seolah-olah, dengan mencuri, harta bertambah. Sebenarnya yang terjadi adalah kebalikannya. Kaitannya dengan poin kedua, harta akan menjadi racun bagi harta yang lain, terlebih lagi untuk jiwa raga. Harta-harta lain yang dimiliki akan “tertular” ketidak berkahannya. Dan cepat atau lambat, alih-alih menjadi kaya, namun justru semakin sulit menyimpan dan mencari harta.

Bagaimana dengan mencuri waktu, dan pemikiran :?: mencuri waktu, harus dilihat dalam konteks apa terlebih dahulu. Jika anda mencuri waktu ditengah kesibukan anda untuk membaca buku, mungkin sah-sah saja tergantung urgensi pekerjaan anda, jika anda seorang dokter dan di tengah-tengah operasi, hal ini pun bisa sangat salah :D . Mencuri pemikiran (ide), ini salah :!: jika anda tahu ide ini sudah anda sudah ada sebelumnya, anda tahu siapa yang pemilik awal ide ini, dan anda eksekusi ide ini tanpa sepengetahuan, dan dukungan pemilik ide yang sebenarnya. Namun jika anda memikirkan tetnang sesuatu dan melakukannya dan di belahan dunia lain ternyata ada yang mempunyai ide serupa sama, bahkan identik, dan mungkin lebih dulu dari anda, saya rasa ini-sah-sah saja. Bisa jadi anda menangkap broadcast ide dari orang itu. Hal ini sangat mungkin dengan pemahaman telepati. Jika pencurian ang anda lakukan adalah salah, maka ketiga hal diatas tetap berlaku.

Bertaubat, kembalikan harta hasil mencuri, dan meminta maaf kepada pihak yang telah dirugikan. Urusan bagaimana mereka akan memperlakukan, harus siap, karena itu koseskuensi yang telah dipilih sendiri. Allah akan mengampuni setiap taubat yang benar.

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( QS Al Mumtahanah 60:12 )

Selengkapnya...

Jangan-jangan Kisanak Klepto?

Pernahkah Kisanak atau Nyisanak tanpa sadar memasukkan barang milik teman ke dalam tas sendiri? Kemudian, ketika sadar, Kisanak baru bingung, ini barang milik siapa? Kemudian Kisanak baru ingat itu adalah barang teman Kisanak. Nah, apakah Kisanak temasuk Klepto?

Kleptomania merupakan salah satu macam gangguan kontrol diri. Ganggun tersebut biasanya ditunjukkan dengan perilaku mencuri benda-benda yang umumnya tidak penting. Seorang klepto yang benar-benar klepto, bukan kleptopet (klepto karena kepepet) sebenarnya tidak menaruh perhatian pada barang yang dicurinya. Bahkan, barang tersebut justru sering dibuang atau diberikan kepada orang lain.

Seorang klepto dalam mencuri disebabkan karena keinginannya untuk mencuri, bukan keinginan untuk memiliki. Motivasi terbesarnya adalah menghilangkan ketegangan pada dirinya dan mencari rasa sensasi. Klepto dewasa biasanya sadar kalau dirinya adalah seorang klepto. Selain mencuri di toko, sebagian klepto biasanya mencuri baran-barang yang ia tertarik saja.

Selengkapnya...

Kejujuran

Arti jujur

Jujur jika diartikan secara baku adalah "mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran". Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.


Kenapa harus jujur?

Saya sering mendengar orang tua menasehati anak supaya harus menjadi orang yang jujur. Dalam mendidik dan memotivasi supaya seorang anak menjadi orang yang jujur, kerap kali dikemukakan bahwa menjadi orang jujur itu sangat baik, akan dipercaya orang, akan disayang orang tua, dan bahkan mungkin sering dikatakan bahwa kalau jujur akan disayang/dikasihi oleh Tuhan. Tapi setelah mencoba merenungkan dan menyelami permasalahan kejujuran ini, saya masih merasa tidak mengerti: "Kenapa jadi orang harus jujur?"

Umumnya jawaban yang saya dapat adalah bahwa kejujuran adalah hal yang sangat baik dan positif, dan kadang saya juga mendapat jawaban bahwa "Pokoknya jadi orang harus jujur!"

Jawaban-jawaban tersebut sampai saat ini memang sudah saya anggap "benar", tapi saya masih selalu tergelitik untuk terus mempertanyakan: "Kenapa orang harus jujur? Apakah baik dan positifnya? Lalu bagaimana juga jika dikaitkan dengan proses kehidupan kita?"


Bagaimana bersikap jujur

Selain pertanyaan - pertanyaan diatas, selanjutnya dalam benak saya timbul pertanyaan: " Bagaimanakah kejujuran itu dapat dipraktekkan dalam sehari-hari, serta bagaimanakah sikap kita sebagai (dibaca: agar dapat menjadi) seorang yang jujur?"

  • Apakah kita sama sekali tidak boleh berbohong?
  • Dan mungkinkah kita selalu jujur dalam kehidupan sehari-hari ini?
  • Ataukah masih ada toleransi bagi kita untuk berbohong dalam hal-hal tertentu atau demi kepentingan tertentu?
Nah, sekali lagi saya mengajak para pembaca untuk merenungkannya bersama!


Contoh yang "Lucu" (dibaca: tidak jujur)

Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering melihat (bahkan juga ikut terlibat) dalam berbagai macam bentuk aktivitas interaksi sosial dimasyarakat, yang justru kebanyakannya adalah wujud realisasi dari sikap tidak jujur dalam skala yang sangat bervariasi, seperti:

Sering terjadi, orang tua bereaksi spontan saat melihat anaknya terjatuh dan berkata "Oh, tidak apa-apa! Anak pintar, enggak sakit, kok! Jangan nangis, yach!".

Menurut saya, dalam hal ini secara tidak langsung si-anak diajarkan dan dilatih kemampuan untuk dapat "berbohong", menutup-nutupi perasaannya (sakit) hanya karena suatu kepentingan (supaya tidak menangis).

Selain itu saya juga sering melihat dan mengalami kejadian seperti: Saat seseorang bertamu kerumah orang lain, ketika ditanya: " Sudah makan, belum?", walaupun saya yakin tawaran sang tuan rumah "serius" biasanya dengan cepat saya akan menjawab "Oh, sudah!! Kita baru saja makan ", padahal sebenarnya saya belum makan.

Dalam lingkungan usaha / dagang, kejujuran sering disebut-sebut sebagai modal yang penting untuk mendapatkan kepercayaan. Akan tetapi sangat kontroversial dan lucunya kok dalam setiap transaksi dagang itulah justru banyak sekali kebohongan yang terjadi. Sebuah contoh saja: penjual yang mengatakan bahwa dia menjual barang "tanpa untung" atau "bahkan rugi" hampir bisa diyakini pasti bohong.

  • Nah, jika demikian, lalu dimanakah letaknya kejujuran itu?
  • Atau bagaimanakah kejujuran yang dimaksud tersebut dapat diaplikasikan dalam dunia sehari-hari?

  • Apakah belajar mengejar Kesempurnaan hidup harus tidak pernah berbohong sama sekali?
  • Lalu bagaimanakah kita dapat menjalani hidup ini yang juga mau tidak mau "harus" bertopeng?
  • Apakah mungkin, kita bisa tidak pernah berbohong sama sekali dalam hidup ini?
Pernah saya mencoba meyakinkan diri bahwa saya memang sudah "Jujur", tapi kemudian akhirnya saya kesulitan menjawab pertanyaan: "Apakah saya tidak membohongi diri sendiri?"

Lalu bagaimanakah sebenarnya? Nah, semoga para pembaca bisa memberikan jawabannya (tentunya jawaban yang jujur , lho!).


Selengkapnya...

video membangun