Kamis, 15 Januari 2009

Stop Kekerasan Dalam Pendidikan


Baru-baru ini stasiun televisi swasta menyebar kabar bahwa di Sleman Yogyakarta siswa Sekolah Dasar menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Kematian siswa itu diakibatkan penusukan salah seorang guru yang emosi akibat ejekan kor ban. Belum lagi kejadian di Pati, seorang Ibu Guru Sekolah Dasar menghukum murid-muridnya yang tidak menyelesaikan pekerjaan rumah dengan me nusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Secara yuridis masyarakat akan menilai guru tersebut bersalah, apapun alasannya karena pri laku semacam itu sangatlah tidak pantas di lakukan seorang guru. Guru seharusnya memberikan con toh baik yang nantinya bisa ditiru oleh anak didik nya sehingga diharapkan anak didiknya nanti akan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Peris tiwa itu seakan menghilangkan otoritas guru dima ta masyarakat sebab guru yang seharusnya dicon toh tidak lagi bisa ditiru gerak-geriknya, selain itu sekolah tersebut akan kehilangan legitimasi penuh dari masyarakat. Siswa dan masyarakat akan melihat bagaima na sikap dan perbuatan gurunya itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau ti dak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya bagaimana cara menyelesaikan persoalan , dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul, baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat. (Akh. Zaini Makmun : Guru sebagai pihak tertuduh). Guru dituntut untuk tampil sebagai figure yang benar-benar dipercaya dan diyakini dapat me ngembangkan intelektualitas peserta didik dalam bentuk yang konkrit. Kemudian menjadi determi nan dalam proses aktualisasi dalam memajukan pendidikan, rasa responsibilitas guru dalam mendi dik dan membina peserta didik secara proporsional sehingga respon guru dalam mendidik dan membi na dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. (MT Ilahi : Delima Pendidikan Kontemporer) Peristiwa diatas menambah serangkaian pot ret buram pendidikan Indonesia yang sampai saat. ini belum menemukan titik terang yang pas dalam implementasi PBM, serta mengindikasikan betapa kekerasan telah merejalela didunia pendidikan se hingga mukjizat- mukjizat dan ruh-ruh intelektual sulit dimiliki peserta didik, lembaga pendidikan be rubah fungsi, dari pembinaan mental dan moral yang mempuni menjadi pembinaan fisik yang kuat dan tegar, akibatnya mental dan motivasi anak down hingga tidak lagi mau melanjutkan pendidi kan, mereka lebih memilih berdiam diri dirumah me ngorbankan pendidikannya karena peristiwa yang terjadi dalam lembaga pendidikan hawatir terjadi pada dirinya, hal ini disebabkan karena pendidikan kita selama ini lebih menekan pada aspek kognitif dan tidak memberi ruang pada aspek afektif, aki batnya dekadensi moral tidak bisa dielakkan lagi. Maka tak salah kalau kemudian Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler memberikan arti pada istilah (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai pengunaan kekuatan kepada orang lain secara terbuka (overt) maupun secara tertutup (covert) atau yang bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive) Anak sebagaimana amanat UUD 1945 mempu nyai hak mendapat pengajaran sehingga nantinya diharapkan menjadi kader bangsa yang mampu membawa bangsa ini pada level maju hingga mam pu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Anak-anak wajib diarahkan pada hal-hal positif afektif agar budi luhur yang saat ini sangat sulit dimiliki bisa mereka miliki semenjak dini. Kalau peristiwa-peristiwa diatas masih menjadi raksasa penakut bagi anak-anak, maka jangan harap anak akan menggunakan haknya dengan baik dalam dunia pendidikan. Karena itu seakan saatnya kita seka rang mengubah pradigma pendidikan dengan pra digma pendidikan yang lebih enjoy. Pendidikan yang tidak mengekang anak-anak dengan metode pengajaran yang diaplikasikan, demikian juga undang-undang lembaga tidak dirasa membeleng gu kebebasan peserta didiknya. Di Jokjakarta, Mas Bahruddin dengan Qaryah Thayyibah berhasil mencetak anak didiknya ber prestasi di tingkat nasional mengalahkan dunia pen didikan yang hanya mempromosikan kaanggunan gedung dan kelengkapan fasilitas lainnya. Dalam Qaryah Thayyibah sebagaimana dikembangkan Mas Bahruddin hanya menggunakan sarana pendi dikan seadanya bahkan biaya yang mereka perlu kan tidak perlu mengeluarkan kocek banyak sebab pembelajaran yang mereka pergunakan hanya sebatas belajar pada alam. Namun yang patut ki ta acungi jempol dalam pendidikan Qaryah Thay yibah ini adalah sistem pendidikan dijalankan se suai keahlian dan kemampuan siswa masing-masing sehingga dalam Qaryah Thayyibah tidak mengenal pengelompokan kelas, tapi, walau demikian kemam puan perta didiknya dalam mengakses internet ti dak perlu diragukan sebab mereka bisa mengakses internet selama 24 jam non stop. Dan tidak adanya praktek kekerasan, pemaksaan, sekaligus penyik saan dalam Qaryah Thayyibah menjadikan pendidi kan berjalan lancar dan prestasi semakin memu kau. Melihat dari itu semua, tidak bisakah kita mene rapkan sistem pendidikan damai (peace education) di negara kita ? atau setidaknya dalam lemba ga pendidikan yang kita kelola ? Tak ada kata tidak bisa sebelum dicoba, dan tak ada kata bersalah dalam kegagalan uji coba. Dalam hal ini pemerintah sebenamya telah berusa ha menjadikan pendidikan di negara kita maju dan bersaing dengan pendidikan negara tetangga. Bentuk keprihatinan pemerintah dalam pendidikan diabadikan dalam pasal 2 Deklarasi HAM bahwa pendidikan hendaknya diarahkan untuk mengem bangkan secara utuh kepribadian manusia dan memperkokoh penghormatan terhadap HAM dan kebebasan asasi. Hal ini secara tidak langsung me ngindikasikan bahwa pemerintah merasa kecewa dengan pendidikan yang tidak mampu membentuk kepribadian anak didiknya dengan sempuma. Kantor UNESCO di Jakarta sejak 2000 telah menciptakan projek pendidikan damai dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan ker jasama diantara para kepala sekolah, guru dan orang tua murid untuk memantapkan kometmen pengembangan dan pelaksanaan pendidikan da mai. Berdirinya jaringan Asosiasi Sekolah di Indonesia telah mendorong peningkatan kesadaran dan pemahaman tentang isu-isu budaya perda maian, toleransi , solidaritas dan partisipasi yang demokratis diantara murid, guru dan orang tua. (Pendidikan Tanpa Kekerasan : 2004) Begitu besar perhatian pemerintah untuk men sukseskan pendidikan, namun kekerasan tetap ber jalan mulus tanpa ada yang mampu membendung nya, mungkinkah hal ini dikarenakan tidak adanya aturan yang jelas terhadap pelaku kekerasan da lam pendidikan ? ataukah karena ulah pendukung pendidikan (pengelola dan peserta didik) yang tidak mematuhi aturan pendidikan itu sendiri ?. Penulis tidak mempermasalahkan hal itu, tetapi bagaimanapun caranya mari kita bersama-sama, dengan kesadaran dan keikhlasan membrantas praktek kekerasan sekaligus membudayakan peace education dalam pendidikan itu sendiri, agar cita-cita pendidikan mencetak kader bangsa yang bersih dan santun bisa tercapai. Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

video membangun